Free, Open-Mind, Responsible, Creative & Egalitarian

Memotret di Ritz-Carlton Jakarta, Berakhir di Densus 88

Berita Detik.com menyebutkan, 3 orang diamankan polisi karena memotret Hotel The Ritz-Carlton Jakarta, Minggu (15/8). “Pada hari ini sekitar pukul 15.00 WIB, tiga orang diamankan satpam karena dicurigai memfoto-foto di Ritz-Carlton,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Boy Rafli Amar kepada Detik.com. Hari itu, ketiganya diamankan di Mapolres Jakarta Selatan dan dikonfirmasi Wakasat Reskrim Polres Jakarta Selatan AKP Damanik.

Senin (16/8) pagi, ketiga pemotret Ritz-Carlton tersebut diamankan Detasemen Khusus 88 (Densus) Polri, seperti dikonfirmasi oleh AKP Damanik. Dalam pengamanan aparat tersebut, ketiga orang tersebut belum terindikasi kasus terorisme, seperti dikonfirmasi oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Boy Rafli Amar.

Secara spontan, berita ini mengingatkan publik bahwa memotret musti hati-hati. Secara spontan pula, orang teringat bahwa The Ritz-Carlton Jakarta pernah jadi sasaran bom oleh teroris pada 17 Juli 2009. Kedua hal itu lantas saling dikaitkan.

Ada baiknya kita sikapi berita ini secara bijaksana. Kepolisian RI (Polri) menjalankan tugas melindungi dan mengayomi masyarakat. Dengan asumsi Polri telah mengaplikasikan HAM ke prosedur tugas-tugas mereka, kita percaya Polri tak sembarang tangkap.

Ada baiknya pula masyarakat umum paham bahwa ada tempat-tempat yang bertanda dilarang memotret. Tak jelas benar keberadaan tanda dilarang memotret di sekitar hotel The Ritz-Carlton Jakarta. Tapi jika ada, mari kita hormati. Jika ternyata tak ada tanda larangan memotret, mari kita tunggu penjelasan dari aparat berwenang.

Kamera dan fotografi memang alat yang sangat ampuh, baik untuk tujuan-tujuan kebaikan maupun sebaliknya. Sama dengan pedang dan pistol, yang tergantung tujuan pada pemegang alat tersebut. Pada jaman Perang Dingin, sampai ada kamera mikro untuk tujuan spionase.

Tapi setelah Perang Dingin berlalu, keberadaan spionase berubah untuk tujuan berbeda. Pada era digital, kamera menjadi semakin canggih. Tak hanya kamera biasa yang membaca panjang gelombang sinar pankromatik, alias sinar tampak, tapi ada pula kamera pembaca panjang gelombang sinar-sinar tak tampak, seperti sinar inframerah. Ukuran kamera pun menjadi lebih mikro. Letak kamera pun tak harus di darat, alias terestrial, tapi bisa dipasang di satelit nun ribuan kilometer di luar atmosfer Bumi.

Jika ketiga orang tersebut benar teroris yang sedang mengincar sasaran, cara-cara mereka masih tradisional sekali, kalau tak malah disebut “amatiran”. Secara lebih cerdas, justru satuan intelijen aparat keamanan bisa mencatat pihak-pihak yang tahu denah bangunan, kawasan dan jaringan listrik, internet dan telepon. Secara lebih cerdas lagi, mustinya kita paham bahwa mengobati terorisme musti seperti mengatasi sakit kepala. Bukan memberi obat penghilang rasa sakit, melainkan menyembuhkan penyebab sakit kepala.

Sebagai masyarakat umum, kiranya kita semakin perluas wawasan agar lebih arif menyikapi situasi aktual dan bijaksana menanggapi peristiwa. Sebagai fotografer, kita mestinya paham bahwa kamera merupakan alat ampuh, untuk tujuan-tujuan baik.

13 responses

  1. kalau ndak boleh di foto, gedungnya ditutupin aja pakai kain:)

    August 16, 2010 at 3:20 PM

  2. Ary Risdijawan

    Sepengetahuan saya, SOP Crisis Management dari Marriott Int’l (Kebetulan Ritz Group Mariott)menempatkan semua propertinya dlm Kategory RED Alert, sejak kejadian bom pertama Mariott status itu tidak pernah diturunkan. Termasuk didalam SOP tersebut untuk mewaspadai orang yang mengambil foto baik interior maupun exterior dengan maksud yg tidak jelas, apalagi yang memotret bukan tamu hotel.

    Pemberlakuan prosedur kontra surveilance ini menurut saya bukan masalah hak asazi atau bukan, semata ini menyangkut keamanan dan bisa dimaklumi. Malah saya mengucapkan selamat kepada security ritz carlton yang dengan konsisten menjalankan prosedur kontra surveilance ini. Ada pepatah mengatakan “apabila anda menjadi sasaran penyerangan maka jadilah sasaran yang sulit”

    August 16, 2010 at 3:31 PM

    • Penjelasan yang masuk akal, Pak. Lantas, apakah pihak yang terkena prosedur tersebut “otomatis” di-Densus88-kan? Ataukah sebenarnya cukup ditangani petugas keamanan hotel?

      August 16, 2010 at 3:46 PM

    • kalo bule yg motret2, dicurigai juga ngga pak? hihihi…

      August 16, 2010 at 3:57 PM

  3. Ary Risdijawan

    @kris: hehehe kalo masalah didensuskan iku wis perkara lain om, soalnya satpam tdk boleh menyidik, kalo dibolehkan memyidik nanti mereka pada beralih profesi jadi “bounty hunter”
    @nico: lha ini yg repot, terorisnya jarang jarang yg bule…

    August 16, 2010 at 6:09 PM

  4. Saya bisa memahami kewaspadaan pemilik properti, seperti dikatakan Ary Risdhiawan. Apalagi kalau lokasi pengambilan sudah terhitung berada di wilayah properti (misalnya lho). Tapi saya tak setuju penanganan yang eksesif — memang bisa muncul opini, “Ketahuan kalau eksesif setelah terpapar di media.”

    Saya setuju dengan Kristupa, bahwa info lain semisal gambar rencana tapak dan sejenisnya (bahkan peta instalasi saluran AC sentral dan jaringan drainase) itu bisa lebih berbahaya jika diketahui publik.

    Mau tak mau proses tawar menawar publik ya kudu digenjot terus. Akibat terorisme maka semua orang jadi senewen, sehingga produk arsitektural (sisi luar) tak dapat diabadikan dengan alasan keamanan.

    Pagi setengah tujuh dengan kamera saku saya ingin memotret antrean pencari visa di luar gedung Kedubes AS Jakarta, dari jalan raya. Ternyata sulit karena saya diawasi dan merasakan isyarat agar segera menyingkir. Ketika saya dulu (zaman gak enak) pakai FM2 memotret Mabes TNI-AL di Cilangkap (buat stok) dan tahu2 ada jip terbuka berisi empat marinir di depan saya saya, saya maklum saja karena itu instalasi militer. Tapi di taman Monas, di luar Kedubes? Saya tak tahu apakah Kedubes RI juga begitu di Ngamrik sono. 😀

    August 17, 2010 at 1:30 AM

  5. @ Antyo
    Kedubes RI di Amrik kayaknya penjagaannya nggak seketat di sini hihih… Nggak ada pagar tinggi & petugas gahar2

    @ Kristupa
    Jaman SMA dulu, pernah ada larangan memotret di lobi bioskop 21. Lobi gitu, bukan dalam teaternyaa.. KLo ini kira2 alasannya apa ya?

    August 17, 2010 at 10:45 AM

    • Alasannya bisa banyak, namun semua sederhana:
      1. Kilatan flash mengganggu penonton lain
      2. Petugas keamanan (mungkin) over-acting
      3. Mau nonton atau foto2? *canda*

      August 17, 2010 at 12:34 PM

  6. pernah motret (PS)mal di jakarta dari seberang jalan, ditegur sama satpam, katanya kudu ijin sama management, dari luar gitu lho, haiyaaahh

    August 17, 2010 at 11:43 AM

  7. Bagusnya sekarang ada perkembangan bagus. Beberapa pemilik kafe membiarkan pengunjung memotreti interior karena itu bisa menjadi promosi by the crowd. 🙂 Pemilik toko? Belum. 🙂
    Tapi kita nggak boleh memaksa. Yang bisa kita lakukan adalah pendekatan atau… nakal alias nyolong gambar dengan segala risikonya 😀

    http://oh.blogombal.org/2009/11/20/ruang-merah/

    http://oh.blogombal.org/2009/09/07/menjuntai-berjuntai/

    August 18, 2010 at 8:11 PM

Leave a reply to Ary Risdijawan Cancel reply