Free, Open-Mind, Responsible, Creative & Egalitarian

Solusi untuk Mitigasi Bencana Gunung Api

Pada suatu sore yang mendung di pertengahan Mei 2014, saya bersama beberapa kawan fotografer singgah di Kabanjahe, dalam perjalanan memotret melintasi Kabupaten Simalungun, Danau Toba dan Pulau Samosir dan Tanah Karo. Halaman GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) Kabanjahe terlihat lengang. Di gereja terbesar di ibukota Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara, itu tenda-tenda pengungsi Gunung Sinabung terlihat lengang. Para pengungsi masih beraktivitas di luar posko pengungsian GBKP Kabanjahe Kota.

Rupanya para pengungsi yang sudah 6 bulan tidur beralas lantai dan tanah itu mengalami dinamika baru dalam hidup mereka. Sudah ada yang mengontrak rumah di luar posko, lantaran tak tahan hidup berdesakan secara tak layak. Ada sekitar 130 keluarga yang tinggal di posko ini dengan fasilitas minim.

MCK mengandalkan toilet gereja, yang didesain untuk kegiatan mingguan bagi ratusan jemaat, jadi dipakai ribuan orang untuk kegiatan sehari-hari. Dapur umum, yang peralatannya sumbangan kawan-kawan Fotografer.net (FN) di Sumatera Utara, krisis bahan pangan.

“Persediaan beras kami saat ini hanya cukup untuk empat hari ke depan,” ungkap Pdt Nurbeti br Ginting, pemimpin GBKP Kabanjahe Kota, ketika dijumpai hari Selasa, 13 Mei. “Perlengkapan mandi dan kebersihan sudah habis, pengungsi tak semua mampu membeli sendiri,” imbuh Ibu Pendeta. Belanja sayur saja sehari menghabiskan dana sekitar Rp 1,5 juta untuk ribuan pengungsi yang tinggal di posko GBKP Kabanjahe Kota. Namun makan nasi dan sayur belaka selama seminggu bisa membuat tak betah, apalagi 6 bulan.

Di lokasi pengungsi Gunung Sinabung, Tanah Karo, Sumatera Utara di GBKP Kabanjahe bersama Pdt Nurbeti br Ginting (paling kiri), Ketua Harian Toba Photo Club (TPC) Johnny Siahaan (kedua dari kanan), dan pengurus TPC Eduard Perangin-angin (paling kanan), Mei 2014.

Di lokasi pengungsi Gunung Sinabung, Tanah Karo, Sumatera Utara di GBKP Kabanjahe bersama Pdt Nurbeti br Ginting (paling kiri), Ketua Harian Toba Photo Club (TPC) Johnny Siahaan (kedua dari kanan), dan pengurus TPC Eduard Perangin-angin (paling kanan), Mei 2014.

Tanah Karo terkenal sebagai lumbung pangan Sumatera Utara lantaran ladang sayur mayur serta buah-buahan dan ternak yang melimpah ruah. Namun abu vulkanik Sinabung menyelimuti semuanya dalam kelam dan maut. Tak hanya mematikan sumber pangan, bencana ini membunuh semangat masyarakat Karo yang terbiasa bekerja di ladang.

Saya termenung melihat anak-anak pengungsi yang pulang sekolah sore itu dan bermain di antara tenda. Betapa suram memori masa kecil yang sedang tercetak di kepala mereka saat ini. Enam bulan bukan waktu sebentar untuk mencetak memori tak terlupakan di otak.

Indonesia yang berada di Cincin Api Dunia berhiaskan untaian gunung api aktif. Teruntai indah ratusan gunung api mulai dari pantai barat Sumatera hingga lantai selatan Jawa dan Nusa Tenggara dan berbelok ke Maluku dan Sulawesi Utara.

Gunung api sudah ada sebelum manusia ada. Tugas manusia untuk menyesuaikan diri dengan alam, bukan mengubahnya. Bukan kuasa manusia untuk nengendalikan kekuatan alam.

Sebagai mantan mahasiswa teknik geologi, yang salah satu semesternya mempelajari vulkanologi, saya bersikap bahwa bantuan bagi pengungsi bencana gunung api bersifat sementara. Otoritas yang berwenang di mitigasi bencana seyogyanya membuat prosedur operasi standar permanen dan melatihkannya secara rutin kepada penduduk di kawasan bencana.

Sudah cukup bencana Gunung Sinabung yang berusia 6 bulan menjadi contoh. Indonesia memiliki ratusan gunung api dan banyak gunung berada di populasi padat.

Bodoh sekali, sekaligus hipokrit, membiarkan masalah, tanpa solusi.

Jika Sinabung bisa erupsi dan membuat warga di sekitarnya hidup berbulan-bulan dalam pengungsian, maka demikian pula dengan Gunung Marapi di Sumatera Barat dan gunungapi-gunungapi lain di Sumatera. Demikian pula dengan gunungapi-gunungapi di sepanjang pantai selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga Maluku dan Sulawesi Utara.

Jika Gunung Sinabung bisa merusak ribuan rumah dan menghancurkan ratusan ribu hektar sawah, kebun dan ladang serta membunuh jutaan ternak maka demikian pula gunungapi-gunungapi lain di di Tanah Air.

Memang ada berbagai macam tipe gunung api dan beragam pula jenis erupsinya. Mulai dari tipe erupsi lelehan seperti Gunung Merapi di Jawa Tengah, hingga tipe eksplosif seperti Gunung Krakatau di Selat Sunda dan Gunung Tambora di Nusa Tenggara.

Tapi satu hal yang pasti: erupsi gunung api tak bisa diprediksi manusia dan ilmu pengetahuannya.

Memang ilmu vulkanologi bisa membaca gejala-gejala letusan, namun tak bisa mengetahui jam-J dan hari-H erupsi. Manusia masa kini hanya lebih modern dari nenek moyang kita dalam hal membaca tanda-tanda alam. Dahulu hanya burung-burung berterbangan dan satwa-satwa eksodus turun gunung jadi penanda erupsi. Saat ini manusia bisa membaca gempa vulkanik, perubahan suhu kawah dan komposisi kimia kawah.

Satu hal yang pasti pula: tak ada bencana baru. Semua bencana alam sudah pernah terjadi, hanya berbeda skala, waktu, intensitas, magnitude dan lokasi. Pembuat jumlah korban dan kerugian sebenarnya manusia sendiri. Jika dalam zona bahaya tak ada aktivitas manusia, maka bisa dipastikan tak ada korban.

Dari semua gunung api yang sudah pernah erupsi, ada catatan waktu dan cakupan bencana serta skalanya. Belajar dari data itu saja, korban bisa diminimalisir, bahkan kalau perlu ditekan hingga nihil.

Kita tak perlu membahas erupsi legendaris Gunung Toba yang abu vulkaniknya menutup seluruh planet Bumi dan membuat global cooling bertahun-tahun. Tak perlu pula membahas erupsi Gunung Krakatau dan Gunung Tambora yang membuat “matahari tak terbit” berhari-hari lantaran abu vulkaniknya tersebar di seluruh dunia dalam sekali erupsi.

Cukup dengan memetakan daerah bencana tiap gunung api aktif dan menerapkannya dalam rencana tata ruang daerah, maka tinggal pelaksanaan kepatuhan saja yang perlu diperlihara. Pelaksanaan berarti ketersediaan segala infrastruktur yang berkaitan dengan mitigasi bencana. Sementara kepatuhan mencakup kesediaan penduduk setempat mematuhi tata ruang.

Standar operasi mitigasi bencana ini berkaitan dengan 3 kebutuhan pokok hidup manusia: pangan, sandang dan papan.

Oleh karena itu, standar musti pasti dan tanpa toleransi. Ibarat fire plan di gedung bertingkat, tiap pintu mencantumi diri dengan dengan denah evakuasi. Denah mengandung jalur evakuasi, posisi alat penyelamatan diri dan tempat berkumpul aman alias master point atau assembly point.

Standar operasi mitigasi ini sebaiknya juga meniru safety demo di tiap penerbangan sipil. Ada peragaan alat keselamatan diri dalam keadaan darurat setiap awal penerbangan. Ada pula safety drill untuk awak pesawat, yang jika diterapkan ke mitigasi bencana berupa evacuation drill bagi para pemimpin setempat, seperti ketua RT, pemimpin komunitas dan tokoh-tokoh informal.

Denah dan diagram standar operasi dipasang di berbagai tempat strategis dan di tiap pintu rumah. Evacuation drill digelar secara acak-waktu, sesekali tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Para pemimpin setempat dan otoritas mitigasi bencana memeriksa piranti keselamatan dan alarm secara berkala tanpa batas waktu.

Jadikan standar operasi mitigasi bencana dan evacuation drill sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat yang tinggal atau beraktivitas di daerah rawan bencana. Hal-hal ini perlu dilakukan semata-mata demi keselamatan diri. Jika enggan hidup dalam kesiapsiagaan, ada opsi migrasi.

Kesiapsiagaan terhadap bencana alam juga meliputi ketersediaan pangan, sandang dan papan di tempat pengungsian.

Artinya, setiap kawasan rawan bencana alam wajib memiliki bangunan bebas-bencana penampung pengungsi. Kapasitas bangunan minimal sama dengan jumlah penduduk kawasan rawan bencana berikut kegiatan kesehariannya, minimal untuk MCK dan klinik kesehatan.

Instalasi penampung pengungsi wajib pula dilengkapi lumbung pangan dan air bersih siap minum, yang secara berkala atau acak-waktu terperiksa agar siap pakai sewaktu-waktu. Dengan begitu, dapur umum tinggal dilengkapi dengan daftar petugas yang dirotasi antar-nama penduduk yang memakai instalasi itu.

Lantaran listrik sudah jadi salah satu kebutuhan primer, maka instalasi penampung pengungsi seyogyanya memiliki sel panel surya. Dengan sel surya, maka kebutuhan listrik bisa aman dari resiko jaringan listrik putus, nirbiaya BBM dan pemeliharaan genset, serta ramah lingkungan.

Desain tata ruang membungkus gaya hidup tanggap bencana dan kesiapan infrastruktur darurat bencana dalam kesatuan utuh. Ada daerah yang dijadikan pemukiman dan ada daerah yang nihil pemukiman namun bisa dipakai kegiatan bisnis dan pelayanan.

Kita percaya banyak kearifan lokal yang memuat sikap tanggap bencana. Tata ruang masyarakat di Pulau Simeleue, Aceh, misalnya, yang tinggal di elevasi tinggi agar terhindar dari ancaman tsunami. Demikian pula kearifan lokal di berbagai daerah lain di lintasan “The Ring of Fire”, seperti Simeuleue, yang sudah menanggapi bencana secara disiplin jauh sebelum sekolah ada di daerah mereka.

Kita respek pada peta rawan bencana yang disusun para ahli geologi. Ancaman bencana alam tak hanya gunung api, gempa bumi dan tsunami melainkan juga banjir dan tanah longsor. Semua pasti bisa dipetakan secara geologis. Tinggal kegigihan otoritas setempat menerapkannya dan keikhlasan penduduk mematuhinya.

Memang hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Tuhan pulalah yang menganugerahi manusia, makhluk ciptaanNya yang paling sempurna, dengan akal budi yang melahirkan ilmu geologi dan akal sehat untuk mematuhi saran para ahli dan otoritas daerah tempat tinggal.

Pada bulan Oktober 2014, sudah hampir setahun Sinabung tak kunjung reda memuntahkan isi perutnya. Guguran lava pijar dan luncuran awan panas silih berganti dengan muntahan material piroklastika.

Kalau seandainya ada anak Tanah Karo yang lahir tatkala Sinabung baru erupsi tahun 2013 lalu, maka hingga usia sudah hampir memungkinkan bisa berjalan belum juga anak itu tinggal di tempat yang layak.

Sebagai manusia, bisa jadi para pemegang otoritas telah mengabaikan akal budi dengan pembiaran para pengungsi hidup tanpa perubahan dan tak antisipatif serta sarat nuansa pencitraan belaka. Bisa jadi pula oknum pemegang otoritas abai dengan kenyataan diri sebagai bagian dari alam atau memang jumawa merasa bisa mengatasi alam.

Yang jelas, isi perut bumi tetap bergejolak, detik demi detik, sesuai Teori Tektonika Lempeng. Alam tak peduli dengan siapapun juga pemegang otoritas. Namun, kita sangat peduli dengan orang yang kita pilih jadi pemimpin kita, pemegang otoritas yang bertanggung jawab mengatur mitigasi bencana. Sejatinya, semua kita mulai dari diri sendiri, dengan bertanggung jawab kepada diri sendiri untuk bijaksana menyikapi tanda-tanda alam.

Sebagai manusia bisa jadi para pemegang otoritas telah mengabaikan akal budi dengan pembiaran para pengungsi hidup tanpa perubahan dan tak antisipatif serta sarat nuansa pencitraan belaka.

Leave a comment