Free, Open-Mind, Responsible, Creative & Egalitarian

Posts tagged “budaya

Fotografi untuk Keutuhan NKRI

Tulisan ini dibuat untuk Majalah Dhirabrata, majalah alumni Akademi Kepolisian (Akpol) lulusan tahun 1990, edisi Oktober 2014

Tulisan ini dibuat untuk Majalah Dhirabrata, majalah alumni Akademi Kepolisian (Akpol) lulusan tahun 1990, edisi Oktober 2014

Alam permai Indonesia membelai wajah bak sapuan ombak di pantai-pantai Natuna dan Anambas, Kepulauan Riau. Lestari menyejukkan seperti hembusan hawa segar hutan Taman Nasional Kayan Mentarang di Malinau, Kalimantan Utara. Indah memukau mata seperti hamparan dataran tinggi pegunungan-pegunungan Papua.

Ikan-ikan berlari-larian di antara warna-warni terumbu karang taman laut Bunaken, Sulawesi Utara. Alunan sasando membuai telinga sembari berdansa tatkala berada di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.

Dalam beberapa perjalanan ke sejumlah daerah terdepan Indonesia, yang berbatasan darat maupun laut dengan negara-negara tetangga, ada banyak cerita tentang pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berkaitan dengan fotografi.

Ketika peradaban manusia modern melebihi budaya lisan dan tulis, gaya bertutur secara visual menjadi tatanan budaya baru. Gambar lebih mudah dan lebih cepat terserap daripada tulisan dan kata-kata. Bisa jadi, gambar pun lebih mudah diingat.

Banyak orang tahu bahwa Natuna dan Anambas adalah milik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Alamnya indah, dengan imbuhan “kata orang”, selain kekayaan sumber daya alam hidrokarbon. Keindahan alam Natuna secara mudah terpaparkan oleh gambar tatkala foto-foto tim hunting Fotografer.net (FN) dipublikasikan setelah kunjungan atas undangan Dandim Natuna, Korem 033/WP, Alm Letkol Inf Hendra Heryana. Komandan Korem (Danrem) 033/WP, waktu itu, Brigjen TNI Deni K Irawan pun mendukung peran fotografi di satuan kewilayahan pimpinannya.

Dari perjalanan fotografi itulah terpapar secara luas keindahan gunung dan pantai Natuna. Dari salah satu perjalanan ke Anambas bisa terpapar pula foto-foto pantai terindah menurut CNN Travel dan menegaskan bahwa pantai-pantai itu milik NKRI. 

Berkaitan dengan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi, sempat terdengar ungkapan “Garuda di dada kami, tapi negara asing di perut kami” terucap oleh penduduk yang tinggal di beranda depan NKRI di Malinau, Kalimanan Utara (Kaltara). Suatu realitas yang tak pada tempatnya untuk ditanggapi secara reaktif buta seperti pepatah “buruk muka, cermin dibelah”.

Prakarsa Dandim Malinau, Korem 091/ASN, Letkol Inf Agus Bhakti bergandengan tangan bersama Bupati Malinau Dr Yansen Tipa Padang membuahkan kunjungan-kunjungan fotografer yang menyebarluaskan keotentikan budaya luhur masyarakat adat Dayak.

Pada suatu akhir pekan, Kodim Malinau menggelar HUT dengan Kaltara Photography Camp yang dihadiri para fotografer dari seluruh penjuru Kaltara: Malinau, Nunukan, Tana Tidung, Bulungan dan Tarakan, dan sejumlah fotografer ibukota. Bermalam di hutan air terjun Semolon, para fotografer mengelilingi api unggun dan Bupati mengumandangkan puisi-puisi persatuan dan kesatuan bangsa melalui fotografi.

Bisa jadi ada banyak kegiatan yang bisa mengumpulkan anak muda. Namun fotografi menjadi kegiatan pengumpulan massa yang populer sekaligus bisa menggemakan isi dan pesan kegiatan meski telah lama usai. Apalagi dinamika kebudayaan modern semakin berpihak pada budaya visual dan digital, maka fotografi semakin terposisikan lebih strategis.

Tulisan di Kompas mengenai cerita di balik foto Proklamasi Kemerdekaan RI mengingatkan khalayak fotografi perihal peran penting, lebih dari sekedar membuat foto bagus.

Tanpa foto maka peristiwa penting hanya sekedar menjadi bahan pembicaraan turun temurun, atau terabadikan berupa tulisan yang butuh daya serap. Bahasa lisan dan bahasa tulisan sama-sama rawan distorsi dan punya resiko language barrier. Tapi, tentu tak pada tempatnya juga jika proklamasi kita kenang dalam bentuk sketsa atau lukisan, meski berupa bahasa visual.

Fotografi sebagai wahana komunikasi visual berbicara dalam bahasa global. Ketika para fotografer memotret Indonesia, termasuk beranda depan Nusantara yang berbatas dengan negara tetangga, publikasi menjadi peran penting selanjutnya.

Patok batas negara hanya berdiri membisu di tempat, namun foto-foto budaya dan alam beranda Nusantara menjadi patok visual yang bisa disebarluaskan ke mana saja dengan berbagai wahana, termasuk internet.

Kejadian saling klaim budaya niscaya jadi nihil manakala salah satu pihak sudah membuktikan terlebih dahulu secara sah dan mempublikasikan secara luas. Analoginya seperti penemuan fakta baru ilmiah yang pembuktiannya disebarluaskan di jurnal-jurnal terkemuka dan relevan.

Sudah menjadi tugas khalayak fotografi Indonesia untuk menjaga Persatuan Indonesia melalui karya-karya foto dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan fotografi. Jika gempuran asing menyerang ruang-ruang dalam rumah, yang jauh dari beranda perbatasan Nusantara, tugas para fotografer Indonesia pula lah untuk mengibarkan Merah Putih melalui fotografi.

Biar foto yang bicara.


Tulisan ini dibuat untuk Majalah Dhirabrata, majalah alumni Akademi Kepolisian (Akpol) lulusan tahun 1990, edisi Oktober 2014

Tulisan ini dibuat untuk Majalah Dhirabrata, majalah alumni Akademi Kepolisian (Akpol) lulusan tahun 1990, edisi Oktober 2014

Tulisan ini dibuat untuk Majalah Dhirabrata, majalah alumni Akademi Kepolisian (Akpol) lulusan tahun 1990, edisi Oktober 2014


Prajurit Keraton Yogyakarta di Grebeg Syawal 2014

Apel prajurit Keraton Yogyakarta di Tepas Keraton sebelum mengawal Grebeg Syawal 2014. Foto: Kristupa Saragih

Apel prajurit Keraton Yogyakarta di Tepas Keraton sebelum mengawal Grebeg Syawal 2014. Foto: Kristupa Saragih

Memotret prajurit Keraton Yogyakarta sudah berkali-kali saya lakoni sejak awal 2000-an. Sejak masih jaman pakai film slide, digital SLR, hingga sekarang memakai kamera mirrorless. Ada banyak kesempatan memotret apel prajurit Keraton Yogyakarta, karena upacara adat grebeg digelar 3 kali dalam 1 tahun Masehi.

Prajurit Ketanggung. Foto: Kristupa Saragih

Prajurit Ketanggung. Foto: Kristupa Saragih

 

Prajurit Mantrijero. Foto: Kristupa Saragih

Prajurit Mantrijero. Foto: Kristupa Saragih

 

Prajurit Daheng. Foto: Kristupa Saragih

Prajurit Daheng. Foto: Kristupa Saragih

 

Prajurit Daheng. Foto: Kristupa Saragih

Prajurit Daheng. Foto: Kristupa Saragih

 

Prajurit Daheng. Foto: Kristupa Saragih

Prajurit Daheng. Foto: Kristupa Saragih

 

Prajurit Wirobrojo alias Prajurit Lombok Abang. Foto: Kristupa Saragih

Prajurit Wirobrojo alias Prajurit Lombok Abang. Foto: Kristupa Saragih

 

Prajurit Nyutro. Foto: Kristupa Saragih

Prajurit Nyutro. Foto: Kristupa Saragih

 

Prajurit Patangpuluh. Foto: Kristupa Saragih

Prajurit Patangpuluh. Foto: Kristupa Saragih


Harapan Fotografer Indonesia Pada Presiden & Wakil Presiden Terpilih RI 2014-2019

Memakai titel “fotografer Indonesia” terkesan berat dan jamak. Begitu banyak fotografer profesional dan fotografer amatir yang terwakili dengan titel itu. Namun berangkat dari Fotografer.net (FN), sebagai komunitas fotografi terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara beranggotakan lebih dari 450.000 orang, perkenankan tulisan ini berisi harapan-harapan yang terangkum dari berbagai sumber.

Para fotografer dan peminat fotografi Indonesia mendambakan kondisi negeri yang memungkinkan harga kamera lebih terjangkau. Kami sadar, tak mudah mewujudkan hal ini mengingat berbagai aspek terkait. Namun kami paham pula, bahwa dengan semangat baru yang dibawa oleh Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih Republik Indonesia (RI) maka kondisi ekonomi lebih baik.

Kami mendambakan kondisi ekonomi dengan nilai tukar Rupiah yang lebih kuat agar harga kamera, yang kami beli dengan Rupiah, bisa terjangkau.

Jika memungkinkan, kami berharap iklim penelitian, pengembangan dan pendidikan berbasis iptek dan seni pun maju. Dengan demikian, bukan tak mungkin Indonesia memiliki pabrik kamera dan berbagai piranti pendukung. Kalau memungkinkan, merk kamera pun adalah merk Indonesia, yang lahir dari buah pikiran dan karya tangan ilmuwan-ilmuwan Indonesia.

Kami berharap, karya para fotografer Indonesia terlindungi secara hukum. Memang sudah ada undang-undang pelindung Hak Cipta namun penegakan hukum masih lemah. Seandainya bisa terwujud, maka para fotografer Indonesia pun sudah sepatutnya menghormati Hak Cipta dalam segala aspek kehidupan kreatif.

Dengan penegakan hukum lebih tegas, maka karya-karya foto dihargai lebih layak oleh khalayak. Fotografer bisa hidup layak dan halal, selayaknya profesi-profesi lain di Tanah Air. Banyak talenta kreatif Indonesia yang berdikari membutuhkan situasi kepastian dan perlindungan hukum yang patut. Kita sama-sama mewujudkan para wirausaha muda yang sukses dan kreatif lahir dari fotografi. Para pewarta foto pun bisa menekuni profesinya menjadi mata hati nurani rakyat.

Melalui ketegasan dan kepastian hukum pula, kita bisa sama-sama menelisik kepatuhan para fotografer membayar pajak secara ikhlas dan jujur. Penegakan hukum tentu butuh biaya, dan merupakan tanggung jawab kita semua untuk menanggungnya bersama-sama, secara terbuka dan jujur pula.

Masih mengenai kepastian hukum, khalayak fotografi Indonesia mendambakan sudut-sudut pemotretan yang bebas spanduk liar, papan reklame yang jadi sampah visual, bangunan angkuh di lereng perbukitan, danau dan pantai, serta sawah dan kebun yang bersih dari bangunan-bangunan pengalih fungsi lahan pertanian. Kami yakin alam yang asri bisa dipertahankan tanpa tunduk kepada ketamakan otoritas setempat pada materialisme.

Para fotografer dan peminat fotografi Indonesia mendambakan situasi yang bebas pungli. Banyak tempat memotret yang dikuasai oleh orang, entah siapa dan dari mana, memungut bayaran. Bayaran-bayaran ini berupa pungutan tak jelas, non-standar, dan seringkali tanpa tanda terima.

Kami sadar, bahwa di banyak negara, banyak tempat menarik untuk fotografi tersedia secara gratis. Kami ulangi, gratis. Kalaupun berbayar, otoritas yang mengurus tempat-tempat yang menarik uang, secara fotografi, memberikan fasilitas yang memadai, seperti kebersihan, keamanan dan toilet bersih.

Fotografer Indonesia siap membayar dengan ikhlas, namun kritis terhadap penggunaan uang yang telah kami bayar. Kami tak rela, Tanah Air ini dikotak-kotakkan oleh pecinta uang, yang menyuburkan iklim penadah tangan dan pengutip tanpa bekerja.

Kami berharap, Presiden dan Wapres terpilih 2014-2019 memberikan ruang lebih banyak bagi fotografer untuk aktualisasi diri. Kata cukup mungkin tak akan pernah terwujud, namun kita perjuangkan bersama-sama.

Semakin banyak ruang pamer dan galeri foto memberikan sarana aktualisasi diri bagi fotografer sekaligus ruang apresiasi seni khalayak secara luas. Semakin banyak publikasi fotografi, baik secara online maupun offline, membudayakan kreativitas secara luas ke berbagai aspek kehidupan. Pendidikan Indonesia tak hanya di sekolah dan di keluarga di rumah, publik fotografi pun mendidik secara terbuka berbasis kebebasan yang bertanggung jawab demi kreativitas.

Khalayak fotografi Indonesia kerap kali terpinggirkan karena dianggap remeh. Kalaupun remeh, tentu hidup ini sudah membosankan lantaran tak koran dan majalah hanya tulisan melulu dan acara perkawinan hanya tinggal cerita lisan tanpa foto. Pariwisata dan kebudayaan hanya berbasis budaya tutur dan tulis tanpa budaya gambar, yang merupakan ciri kebudayaan modern.

Tanggung jawab fotografer dan peminat fotografi Indonesia untuk melestarikan budaya Tanah Air dan hidup dengan layak dari itu.

Foto-foto mempromosikan tempat wisata bersamaan dengan kerajinan tangan, tari-tarian, baik tradisional maupun modern, penginapan dan kuliner. Melalui foto pula industri garmen dan busana, baik modern maupun tradisional, bisa terpasarkan efektif. Melalui fotografi pula industri periklanan lebih kompetitif dan disain arsitektur terapresiasi lebih luas. Dengan fotografi pula poster-poster film dan sampul album-album musik tampil menarik.

Kalau kita berbicara tentang fotografi pernikahan saja, sebagai contoh, ada milyaran uang yang terlibat. Anggaplah ada 10 juta pasangan siap nikah, dari lebih dari 200 juta populasi Indonesia, dan anggaplah tiap pasang membayar Rp 1 juta untuk paket foto weding mereka. Berarti tiap minggu, tiap bulan dan tiap tahun, ada ratusan milyar, mungkin trilyun, uang yang berputar karena fotografi. Dan dari ratusan milyar itu, ada jutaan mulut yang bisa makan secara layak dan halal dari bisnis fotografi.

Dari segala harapan ini, kita berharap semua fotografer bertugas dengan lancar dan layak. Segala sudut Nusantara dijelajahi, termasuk garis depan perbatasan Tanah Air dengan negara-negara tetangga.

Identitas bangsa kita dokumentasikan dan publikasikan secara terus menerus di berbagai media, baik berupa warisan-warisan budaya tradisional nenek moyang maupun kreasi-kreasi modern Nusantara. Bahasa gambar bicara jutaan makna. Fotografi jadi salah satu piranti ketahanan nasional dan fotografer Indonesia wajib mengawal kekayaan Tanah Air kita sekaligus memupuk persahabatan dan persaudaraan untuk Persatuan Indonesia.

Seringkali foto-foto kami lebih berbicara daripada kemampuan kami berbicara dan menulis. Semoga harapan-harapan ini sampai kepada Presiden dan Wapres terpilih RI 2014-2019.

Biar foto yang bicara.


 

Tulisan ini dimuat pertama kali di Fotografer.net: http://www.fotografer.net/forum/view.php?id=3194608045


Kisah dari Air Terjun Semolon, Malinau #KaltaraPhotoCamp

Image

Berada di hamparan hutan tropis Kalimantan, air terjun Semolon sehari-hari sunyi. Sesekali saja ada pengunjung di salah satu tempat wisata andal Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) ini. Tapi pada akhir pekan 17-18 Mei, air terjun Semolon ramai benar.

Image

Tercatat 60 fotografer dari seluruh kabupaten di Kaltara hadir, bersama dengan sejumlah tamu fotografer asal Balikpapan, Kaltim dan Jakarta. Tampak hadir juga puluhan penari dan pemusik tradisional dari desa wisata Setulang, yang bertetangga dengan Semolon. Terlihat pula hadir belasan Pramuka Saka Wira Kartika yang membaur bersama pemuda-pemuda setempat.

Workshop singkat fotografi oleh Kristupa Saragih dan Dewandra Djelantik membuka rangkaian kegiatan Kaltara Photography Camp. Kedua fotografer profesional ini berasal dari komunitas Fotografer.net (FN), website fotografi terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Bagi semua peserta dan pembicara, ini adalah kali pertama mereka semua mengalami workshop fotografi di tengah hutan tropis lebat.

Total ada 200 ransum makanan yang disiapkan untuk seluruh hadirin yang menginap semalam di tenda-tenda yang terhampar di lapangan. Gelaran Kaltara Photography Camp semula optimis hanya pada jumlah sekitar 50 pendukung saja. Namun gema semangat fotografer untuk Persatuan Indonesia ini ternaya sampai ke mana-mana.

Image

Bupati Malinau Yansen Tipa Padang hadir membawa serta jajaran pemkab (pemerintah kabupaten). Kehadirannya menyemangati para peserta dan pendukung. Tak hanya ikut memotret bersama peserta, Bupati hadir hingga larut malam dan berbaur akrab seraya berseling dengan canda tawa.

Image

Inisiatif Dandim 0910 Malinau Letkol Inf Agus Bhakti semula hanya sesederhana mengumpulkan para fotografer Kaltara, yang masih muda-muda, lantas mengumandangkan semangat kebangsaan dan cinta Tanah Air. Namun motivasi sederhana ini justru membakar semangat para fotografer dari kabupaten-kabupaten lain di Kaltara untuk merapatkan barisan dan menyatukan langkah untuk NKRI.

Semangat yang bergelora dari para fotografer ini dikemas dengan acara motret figur-figur khas Dayak, yang diboyong ke Semolon, dan atraksi-atraksi tradisional Dayak. Para fotografer Kaltara paham benar, bahwa tugas dokumentasi untuk pelestarian budaya tradisional dan ajaran para leluhur ada di tangan mereka.

Posisi Kaltara di perbatasan dengan negara asing mengkukuhkan semangat pengibaran Merah Putih melalui fotografi. Jangan sampai alam indah Indonesia dan budaya Nusantara diklaim sebagai milik asing. Foto-foto yang dibuat di Semolon menjadi inspirator para fotografer di seantero Kaltara untuk menyebarluaskan foto-foto yang dibuat di daerah masing-masing sebagai pengumuman kepemilikan atas Tanah Air dan budaya Indonesia.

Sudah cukup kejadian-kejadian tari tradisional Indonesia, motif pakaian dan makanan asli Indonesia diklaim sebagai milik asing. Sudah bulat tekad para peserta Kaltara Photography Camp menyumbangkan diri untuk kedaulatan Indonesia melalui fotografi.

Image

Malam Minggu di air terjun Semolon itu sangat berarti. Para peserta dan panitia Kaltara Photography Camp berdiri melingkari apa unggun dan berpengangan tangan sembari menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Ketika lagu “Syukur” dinyanyikan, salah satu panitia membacakan puisi kebangsaan yang disahut dengan deklamasi kebangsaan oleh Bupati Yansen. Di bawah siraman cahaya bulan purnama, nyala api unggun dan lirik “Syukur” memadu keharuan dan semangat.

Image

Esok paginya, para peserta mandi di mata air panas yang bercampur dengan sumber air segar air terjun Semolon. Usai sarapan ala lapangan, para peserta menanam bibit pohon di seputar lokasi wisata air terjun Semolon bersama Dandim 0910 Malinau, Komandan Yonif (Danyon) 614/RP Letkol Inf Hadi Al Jufri dan direksi PT BDMS Daniel Suharya. Semua hadir di Kaltara Photography Camp karena Bupati, Dandim, Danyon dan direksi serta sejumlah staf PT BDMS memang penggemar fotografi.

Dari lomba foto kecil-kecilan yang digelar, pagi itu hasil lomba diumumkan. Ada masing-masing 3 pemenang dari 3 kategori lomba: landscape, human interest dan model. Para pemenang asal Tarakan ternyata tak mengantongi uang tunai hadiah lomba. Mereka ternyata menggabungkan seluruh uang hadiah untuk menyiapkan kegiatan lanjutan serupa Kaltara Photography Camp di Tarakan. Semoga niat mulia ini terwujud segera.

Image

Begitu besar semangat persahabatan, kebersamaan dan kebangsaan yang timbul sekaligus disatukan di antara suara gemericik air terjun Semolon. Para peserta berangkat ke Semolon dan pulang ke rumah masing-masing atas biaya pribadi. Hanya semangat lah yang memberanikan mereka menumpang pesawat terbang dan speed boat berjam-jam, disambung menumpang truk tentara, untuk berjumpa rekan-rekan fotografer dari kabupaten-kabupaten se-Kaltara.

Nun di ujung utara Kalimantan sana, hutan masih terhampar lebat bersama deburan jeram Sungai Kayan dan Sungai Mentarang. Udara yang segar dan tradisi masyarakat yang masih asli merekatkan persatuan fotografer Kaltara untuk Persatuan Indonesia melalui fotografi. Kebhinekaan kita adalah kekayaan kita.

Meski hidup masih sulit, BBM (bahan bakar minyak) dan sembako (sembilan bahan pokok) saja berasal dari negara tetangga dan berharga mahal, semangat kreativitas senantiasa menyala. Sinyal seluler baru masuk pedalaman pada Desember 2013, itupun dalam kecepatan data internet yang amat minim.

Justru dalam segala keterbatasan itulah semangat perjuangan dan persatuan terjaga.

Dari Malinau, para fotografer Kaltara menyuarakan semangat persahabatan dan cinta lingkungan. Jauh dari pamrih nama tenar dan iming-iming materialisme, mereka bergerak dalam sepi. Namun gema Persatuan Indonesia dari ujung utara Kalimantan ini menggelorakan semangat para fotografer di seluruh Nusantara untuk beraksi serupa.

Biar foto yang bicara.

 

Image

 

Foto-foto oleh: Kristupa Saragih

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang