Belajar pada #FN9 Manado dan Palembang
Awal tahun 2009, kawan-kawan anggota Fotografer.net (FN) Manado mengontak. Terbit niat untuk menggelar gathering FN di ibukota Sulawesi Utara. Sayang agenda FN Gathering 2009 sudah diajukan ke sponsor sejak akhir 2008 dan sudah disetujui.
Pantang menyerah, kawan-kawan FN Manado di bawah bendera klub Manado Photo Club (MPC) waktu itu merapatkan barisan. Kepanitiaan dibentuk dan anggaran disusun, sponsor dicari. Semua dilakukan atas inisiatif anggota-anggota FN Manado secara swakarsa dan swadaya.
Gathering pertama pun berhasil digelar pada Juli 2009. Peserta ramai dan acara berlangsung seru. Mumpung semangat masih berkobar, kawan-kawan FN Manado kembali menggelar gathering Tahun Baru 2010. Kali ini bendera yang diusung adalah klub Spot Photographers, menyikapi dinamika yang terjadi di MPC.
Kekompakan dan kerja keras kawan-kawan FN Manado berbuah. FN Gathering Series 2010 menempatkan Manado sebagai salah satu kota di agenda seri tahunan. Tapi kawan-kawan FN Manado tak lekas puas, masih dengan bendera Spot Photographers mereka kembali menggelar gathering Tahun Baru 2011. Semua sukses, semua ramai peserta dan semua berlangsung seru dalam kebersamaan dan suasana persahabatan.
Menanggapi semangat swakarsa dan inisiatif yang menggebu-gebu, kawan-kawan FN Manado di tahun 2011 menjadi tuan rumah 2 acara, FN Gathering Series 2011 dan FN Workshop Series 2011. Kedua acara sudah berlangsung, tetap dalam suasana persahabatan namun jumlah peserta yang bertambah dan acara yang lebih beragam.
Cerita yang serupa tertoreh di Palembang. Berkali-kali diusulkan masuk ke agenda seri tahunan FN tapi nampaknya ibukota Sumatera Selatan ini belum terperhatikan. Tapi justru hal itu menjadi penyulut semangat gotong royong kawan-kawan FN Palembang dan pengikat kekompakan mereka.
Dalam waktu kurang dari seminggu, kepanitiaan dibentuk dan anggaran disusun. Rapat-rapat panitia yang berjumlah beberapa gelintir orang saja digelar tiap malam. Berbagai warung kopi dan warung pempek jadi saksi gerilya penyusunan strategi kawan-kawan FN Palembang.
Sponsor tak jadi masalah, lantaran ada banyak teman di Palembang yang bisa “ditodong” meski hasil tak banyak. Namun, semboyan “bersatu kita teguh” dan “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit” jadi nyata di Palembang. Gathering pertama di Palembang digelar dua pekan lalu.
Acara FN Palembang diawali petang hari di Dekranasda, Jakabaring dan ditutup makan malam bersama di tepi Sungai Musi, menghadap Jembatan Ampera yang legendaris itu. Peserta datang dari berbagai kota di Sumatra Selatan, seperti Muara Enim dan Baturaja. Banyak juga peserta yang datang dari provinsi-provinsi tetangga, 5 orang dari Jambi, 2 dari Batam di Kepulauan Riau, 4 dari Pangkalpinang di Bangka Belitung dan 1 orang dari Lampung.
Jumlah 159 peserta dan asal dari berbagai daerah jelas jadi bukti nyata kerinduan kawan-kawan anggota FN untuk bertemu, berkumpul dan berbagi. Palembang membuktikannya dalam bungkus acara yang meriah, dan lebih dari 90 persen peserta tetap setia mengikuti acara hingga usai mendekati pukul 10 malam.
Kita membuktikan, bahwa keinginan dan kerinduan yang sama mengumpulkan kita untuk mencapai tujuan yang sama, dibungkus persahabatan dalam kecintaan pada fotografi. Inisiatif terbit dari bawah, bottom up. Bukan sebaliknya, ada yang gelar acara meski esensi tak mengena dan bertujuan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Kendala dana diatasi secara gotong royong. Jangan sampai persahabatan kita dan kemauan untuk berbagi terganggu karena dana. Kalau kita mau, kita bisa.
Manado dan Palembang bisa.
Gocefa, Ritual yang Hilang dari Pesisir Sulawesi Utara
Sedikit sekali informasi yang bisa dihimpun perihal gocefa. Ritual penting masyarakat pesisir Sulawesi Utara ini konon lahir 2.000 tahun yang lalu di kalangan masyarakat adat Bantik. Ketika Manado Ocean Festival (MOF) 2011 menghadirkan ritual ini pada 27 Mei 2011 lalu di Pantai Malalayang Manado, banyak orang yang baru pertama kali menyaksikan, bahkan mendengar pun belum pernah.
“…torang batrima kaseh atas firman yang Dia so kase pa torang. Juga atas torang pe orang tua, torang pe tete deng nene moyang yang so kase lahir pa torang samua. Deng atas pante dan lao yang Tuhan so bekeng vor torang yang so jadi torang pe pohong hidop.”
Gocefa diyakini sebagai ritual adat memanjatkan doa bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir yang bergantung pada laut. Tinggal di tepi laut, hidup dari laut, dan menyandarkan diri pada laut. Doa-doa dipanjatkan dalam bahasa Bantik, yang hampir punah. Bahasa Bantik diyakini seumur dengan bahasa Kawi, alias Jawa Kuna di Pulau Jawa, yang telah punah.
“Hidop ini anugera Tuhan. Torang sambut itu deng bajanji hidop sebaik-baiknya. Torang bajanji mo paka ni pante deng lao vor torang pe hidop. Torang bajanji mo piara deng jaga ni pante deng lao pe bagus ini.”
Iring-iringan rombongan pelaksana ritual gocefa dibuka dengan penari-penari cakalele. Berpakaian merah-merah, para penari ini bersenjatakan parang. Lantas diikuti dengan orang-orang tua berpakaian putih-putih, berikat kepala merah. Baru para pemimpin upacara ritual yang adalah para pemuka agama.
Su suwu-suwu dunia, mawu pukakelungangu. Maning alang diminuhe, mawu pukakelungangu. Ya Yesus bukide pubawukidang sudunia, sudunia. Ore tamalaombo suwu-suwu, tamalenggeng dimpuluse.
Ada 6 pemimpin upacara yang hadir, dua orang di antaranya adalah pendeta. Tak ada sumber resmi yang bisa menjelaskan, tapi konon ritual gocefa ini lahir sebelum agama Kristen masuk ke tanah Sulawesi Utara. Ketika agama Kristen masuk, lantas terjadi akulturasi budaya, meski kepastian kabar ini perlu dikonfirmasi kepada para pemuka adat yang berwenang.
“Sudara-sudara, marijo torang taru sebagian dari torang pe persembahan yang so takumpul tadi ka atas gocefa, pasang dia pe obor, lapas ni gocefa ka lao kong trus torang manyanyi…“
Persembahan dikumpulkan, seiring khalayak memanjatkan doa dan menyanyikan lagu-lagu. Ketika matahari mencium cakrawala, obor-obor dinyalakan. Lampu-lampu di sekitar tempat upacara dipadamkan. Doa-doa tetap dipanjatkan bersama lagu-lagu persembahan.
Sakaeng sutaghaloang, mesesenggo mapia. Nangkodane kai i tuang, apisu takahia. Maning selihe maiha, balade geguwa. I kau tawe mekapu, nangkodanu mawu.
Rakit bambu kecil, yang disebut gocefa, dimuati semua persembahan. Lantas dilepas, sembari ditarik perahu motor kecil ke tengah laut. Nyala obor menari-nari ditiup angin laut. Seiring dengan matahari yang bersembunyi di peraduan, gocefa ditelan kegelapan Laut Sulawesi.
Memotret Kembang Api Itu Menyenangkan
Siapa yang tak suka kembang api? Mengudara dan meletus pancarkan sinar warna-warni. Memotret kembang api jadi suatu kesukaan tersendiri.
Prinsip utama memotret kembang api adalah melukis dengan cahaya.
Alat yang dibutuhkan pun tak muluk. Kamera sudah mutlak, bisa berupa DSLR atau kamera saku prosumer yang punya setting manual kecepatan dan bukaan. Lensa bisa berupa lensa lebar maupun lensa tele tergantung pada situasi lokasi pemotretan. Tripod jadi piranti mutlak pemotretan kembang api lantaran penggunaan kecepatan rana lambat dan untuk mencegah camera shake.
Sebelum memotret, pastikan pilihan lokasi tepat dan terbaik. Jika asing di suatu tempat, tanya orang-orang setempat perihal atraksi kembang api beberapa jam atau sehari sebelum acara dimulai. Pastikan tak ada kabel, tiang atau kabel-kabel yang menghalangi sudut tembak.
Berada beberapa jam di tempat sebelum atraksi kembang api dimulai merupakan suatu keharusan. Tempatkan diri sebelum rekan-rekan fotografer lain mengambil tempat dengan sudut tembak terbaik. Pasang tripod sedini mungkin sebagai penanda tempat memotret dan berjaga di dekatnya sampai waktu atraksi kembang api tiba. Atraksi kembang api pasti menarik minat banyak rekan yang punya keinginan sama.
Secara teknis, pemotretan kembang api memakai ISO tinggi, minimal ISO 400 lantaran kondisi minim cahaya. Modus pemotretan disarankan set pada modus M alias manual untuk mempermudah penyesuaikan kombinasi kecepatan rana dan bukaan. Setelah set ISO barulah tentukan diafragma dan kecepatan rana.
Tak ada rumus atau dogma yang mengharuskan pemakaian kecepatan rana tertentu. Saya biasa set kecepatan rana mulai pada 1 detik dan bukaan f/5.6 di ISO 400. Buat satu dua foto, lantas ubah kecepatan rana sesuai kebutuhan. Jika 1 detik masih under-exposed atau garis kembang api kurang panjang maka ubah kecepatan menjadi 2 detik atau 4 detik, demikian seterusnya pada pecahan tiap 1 stop. Pada contoh foto di atas, saya temukan lintasan kembang api yang paling cocok jika rana dibuka selama 4 detik.
Setelah dapat kecepatan rana yang cocok, barulah diafragma disesuaikan agar memperoleh kombinasi yang tepat. Berangkat dari f/5.6 lantas naik ke f/8, f/11, f/16 atau f/22 sesuai kebutuhan akan exposure yang tepat. Pada contoh foto di atas, saya memutuskan untuk expose foto di f/16 agar cocok dengan kecepatan rana 4 detik. Semakin sempit bukaan diaframa, semakin kecil kemungkinan foto kehilangan detail pada highlight.
Setelah kamera terpasang pada tripod dan teknik di atas diterapkan, maka tinggal eksekusi pemotretan. Hati-hati menekan tombol rana, karena meski terpasang di tripod getaran tangan bisa membuat camera-shake. Set WB alias white balance sesuai suhu warna, yang pada lokasi pemotretan foto di atas, Manado, pakai WB tungsten sesuai suhu warna lampu-lampu penerangan jalan dan gedung.
Selamat ber-kembang api ria dengan kamera Anda.
Gaby and The Smoke in Tondano
It was a beautiful day spent with Manado photography fellows, on the last weekend of June 2010. I was in the capital of North Sulawesi for attending Fotografer.net Gathering Series 2010. Manado fellows are so kind and they were very anthusiast to arrange a simple model photo shoot with me while I was visiting their hometown.
We went to Tondano, 30km away from Manado, the capital of Minahasa Region. Cool breeze and widespread rice fields welcomed us in this beautiful highland of North Sulawesi. Then it was just happenned for us to find harvesting time on a roadside.
Dried rice straws were everywhere. Some farmers started to burn some rice straw piles and rose some smoke. We pulled-over, geared-up and asked our model Gaby to walk into the smoke.
It wasn’t easy to step over dried rice straws. The piles are soft, above wet and thick mud. As we got closer to the smokes, oxygen decreased and the smoke hit our eyes just like tear gas.
I geared myself with Canon 1D Mk III body and 17-40mm lens. The area of shooting was narrow, and I wanted to keep close to the models to make sure she heard my direction. The wind was quite hard and the directions changed in minutes.
Sky was covered by cloud and created low-contast condition. I armed one unit flash Canon Speedlite 580 EX II with PocketWizard FlexTT5. To trigger it, PocketWizard FlexTT1 was slided into 1D Mk III hotshoe.
I wanted to step down the background 1-stop under the flash exposure on the model. As PocketWizard FlexTT1 and FlexTT5 supports Canon E-TTL system, it was easy for me to compensate the exposure -1 stop and keep the flash exposure normal.
We realized that we couldn’t stand the smoke that long. So we just made some shots, quickly evaluate them and made some other alternative shots from some different angles. Went back to our cars, we stepped again over the dried straws carefully, and called our short and simple photo shoot a wrap.
My Manado fellows and I simply browsed the pictures on the camera LCD. We were satisfied and so was Gaby. Shorthly after that, we hit the road again, back to Manado, to attend Fotografer.net members gathering later in the evening. Thanks to all Fotografer.net fellows in Manado, SPOT photographer.
Another fun was waiting for us.
Original post of the main picture above: Surrounded
Making Creative Shots with BlackBerry Bold 9700
People might have common thought that great pictures should be made by expensive and big DSLR type of camera. Well, it’s true but it doesn’t have to be always that way. Camera is only a tool. Behind great photographs there are a pair of good eye and great ideas.
I explored my previous mobile phone, BlackBerry Curve 8900 Javelin, and made great pictures with it, “Motret dengan Ponsel: BlackBerry Curve 8900 Javelin“. I loved it, good quality of camera in a mobile phone. But then I got myself BlackBerry Bold 9700 Onyx to replace it. I thought it might have better quality camera, and I’m right.
There were so much fun I had when shooting around with this mobile phone. I left my pocket camera which used to accompany me wherever I go. You may leave home without your pocket camera. But almost nobody would leave home without mobile phone. It’s easier to bring only one gadget instead of two, isn’t it?
Pictures attached here didn’t go through any single digital editing. I only resized them down. Hopefully they would make you witness the strengths and weaknesses of camera in BlackBerry Bold 9700 Onyx.
My tip: let your eyes and mind concentrate on the photo subjects. Leave technical things to the ease of use and compactness of camera in mobile phone.
Traveling with BlackBerry Bold 9700 Camera
You must live in the other planet or live in another century back if you haven’t traveled anywhere in your life. Traveling becomes an integrated part of life and for some people becomes their habit and desire. One important thing is to have a camera to be your best traveling buddy.
One compact camera is enough to accompany you during the trip. It was years ago when traveler had to bring, at least, two gadgets: mobile phone and pocket camera. Image sensor, resolution and quality in camera in mobile phone was not good. Today, there are plenty of options of mobile phone which has good quality of image sensor, lens and big resolution.
I know a mobile phone today reaches 12 megapixel resolution. Another mobile phone put on the legendary Carl-Zeiss lens. You may want anything, but it’s better to have what you really need. I choose BlackBerry Bold 9700 Onyx which has 3.2 megapixel camera.
It goes whereever I go. I seldom bring my pocket camera. My big professional DSLR is with me in serious targets. Anyway, simplicity in mobile phone camera would let us concentrate more on the subject and idea rather than technical things, i.e shutter speed and aperture settings.
Sample of pictures here didn’t go through any single digital editing. I only resized them down so you may witness the strengths and weaknesses of mobile phone camera. Let the pictures talk.
Recent Comments